PELITA HARAPAN UNTUK MEREKA YANG TERLANTAR
Pendidikan adalah senjata paling
ampuh untuk mengubah dunia”
-Nelson Mandela-
Peradaban suatu
bangsa sejatinya tidak akan pernah lekang dari salah satu elemen yang amat fundamental
yakni Pendidikan. Persoalan-persoalan yang dihadapi suatu bangsa baik di masa
kini maupun masa depan akan mampu teratasi ketika bangsa itu sendiri memiliki
Pendidikan yang berkualitas. Hal ini pun sejalan dengan ungkapan Nelson
Mandela, bahwa Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.
Orang yang pada awalnya hanya mampu berjalan kaki untuk berpergian, kini dengan
adanya Pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan memunculkan teknologi
transportasi modern yang memudahkan orang berpergian keseluruh dunia dalam
waktu yang singkat. Demikian pula beberapa persoalan seperti bidang pengolahan
pangan, medis, telekomunikasi, bisnis, industri, hukum, dan persoalan lainnya yang
secara nyata dapat diatasi berkat adanya Pendidikan.
Dilihat dari konteks
Indonesia, perjalanan sejarah mengungkapkan bahwa keadaan terbelenggunya bangsa
dalam pusaran tirani penjajahan, telah mendorong Ki Hajar Dewantara untuk
memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan manusia dalam
aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan
mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik) (Sugiarta, 2019). Bahkan
semangat menuntut ilmu pengetahuan inilah yang mampu melahirkan para
revolusioner bangsa untuk memerdekakan Indonesia.
Dalam perkembangannya
saat ini, bangsa-bangsa didunia dituntut untuk mampu melakukan pembangunan yang
berkelanjutan sebagimana yang termuat dalam Sustainable Development Goals
(SDGs) yang merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia guna mengakhiri kemiskinan,mengurangi kesenjagan dan melindungi lingkungan. Salah satu poin yang menjadi tujuannya adalah menciptakan Pendidikan yang
bermutu dengan memastikan Pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara juga
mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah
secara jelas menyebutkan bahwa tujuan negara Negara Republik Indonesia adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, pemerintah sebagai pemegang
mandat kekuasaan dari rakyat berkewajiban untuk mendorong dan memastikan
tercapainya tujuan tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan
Pendidikan yang inklusif dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
terkecuali. Pemerataan Pendidikan merupakan bentuk usaha untuk menjamin mutu
Pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing guna menciptakan
generasi-generasi penerus bangsa yang paripurna, unggul, berkarakter mulia dan
kedepannya mampu membawa Indonesia pada titik keemasannya. Akan tetapi, hal
yang diharapkan tidak semudah untuk melakukannya. Banyak tantangan dan hambatan
yang masih ditemui dan belum menemukan solusi yang tepat.
Penyelenggaran
Pendidikan di Indonesia masih dalam kondisi yang belum maksimal dan pemerataan
Pendidikan juga belum sepenuhnya terselesaikan. Beradasarkan
data yang dipublikasi oleh World
Population Review, pada tahun 2021 lalu Indonesia masih berada di peringkat
ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan
dunia. Kondisi yang demikian diperparah dengan adanya berbagai praktik KKN oleh
pejabat negara yang kemudian berimbas pada terhambatanya penyediaan saranan
Pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Akhir-akhir ini pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
(Kemendikbudristek) tengah memprogramkan merdeka belajar sebagai arah baru
pembelajaran di masa depan. Merdeka
belajar merupakan program kebijakan yang
dicanangkan untuk
mengembalikan sistem pendidikan nasional kepada esensi
undang-undang dengan memberi kebebasan kepada sekolah, guru dan
murid untuk bebas berinovasi, bebas
untuk belajar dengan mandiri dan kreatif, dimana kebebasan
berinovasi ini harus dimulai
dari guru sebagai
penggerak pendidikan nasional (Sherly, 2021).
Problematika yang
kemudian dihadapi dan juga merupakan tantangan yang kompleks adalah pemerataan
Pendidikan yang belum maksimal. Masih banyak anak-anak yang belum merasakan
nikmatnya menempuh Pendidikan secara formal, baik disebabkan ketiadaan biaya,
minimnya fasilitas, rendahnya kualitas dan kuantitas pengajar maupun masih
sulitnya akses Pendidikan karena faktor daerah yang tertinggal dan
terpencil. Untuk daerah perkotaan saja
masih banyak anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar dibangku
sekolah. Diantara sekian banyak masalah yang ada, salah satunya adalah fenomena
anak jalanan yang keberadaannya oleh sebagian masyarakat dianggap meresahkan
dan mengganggu ketertiban umum. Padahal jika memiliki pilihan, maka mereka
tidak akan memilih menjadi gelandangan dan mengemis ataupun bekerja di jalanan
dalam kondisi usia yang masih belia.
Ditengah keadaan yang ada, data dari Kementerian Sosial menunjukan bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah anak-anak jalanan. Pada tahun 2017 jumlah anak jalanan masih berjumlah sekitar 36.000 orang dan saat ini jumlahnya mencapai 232.849 orang. Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), anak-anak yakni yang berusia 0-18 tahun berjumlah 79,8 juta anak. Dari keseluruhan tersebut, jumlah anak-anak yang masuk kategori terlantar dan hampir terlantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen. Sungguh amat disayangkan, berjuta-juta anak terlantar tersebut telah terenggut hak-haknya untuk bisa menikmati Pendidikan dan memperoleh perlindungan yang layak.
Padahal, dalam Pasal
9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa
setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada
hakekatnya sama dengan hak–hak asasi manusia pada umumnya, seperti tercantum
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, dan Keputusan Presiden RI
No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Right of the Child
konvensi tentang hak-hak anak (Amandemen IV, Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999). Artinya, anak jalanan juga harus diberikan pendidikan guna pengembangan
mental dan kecerdasan (Ilham, 2020).
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 sejatinya telah mempertimbangkan bahwa Pendidikan nasional harus menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan kedepan sesuai tuntutan perubahan zaman, baik secara lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu, harus dilakukan pembaharuan Pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan (Sherly, 2021).
Konsep kesetaraan
atau pemerataan dalam pandangan Coleman (1968), memiliki arti dalam beberapa
hal seperti, memberikan pendidikan gratis sampai tingkat tertentu yang
merupakan titik masuk utama bagi angkatan kerja, menyediakan kurikulum umum
untuk semua anak tanpa melihat dari latar belakangnya, menyediakan sekolah yang
sama bagi anak-anak dengan latar belakang bidang yang berbeda-beda dan
memberikan kesetaraan dalam kasih sayang (Handoyo, 2019). Konsep tersebut
menjadi dasar program pemerataan atau kesetaraan dalam peningkatan kualitas Pendidikan.
Kita bisa melihat
bahwa apa yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi
dilapangan. Dalam fenomena sehari-hari telah terjadi diskriminasi. Dimana kaum
jalanan menjadi kelompok yang termarjinalkan dan dianggap sebelah mata. Padahal
kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai bakat dan potensi itu ditujukan
untuk semua elemen. Akhirnya muncul ketidakadilan dan kembali kita harus
melihat kondisi-kondisi di masa jahiliyah yakni yang kuat semakin kuat dan yang
lemah semakin lemah. Saat ini memang telah ada beberapa komunitas yang peduli
terhadap kondisi anak jalanan ini dengan membantu memberikan Pendidikan
informal lewat rumah singgah ataupun kemunitas belajar kecil-kecilan. Akan
tetapi, hal itu masih belum cukup untuk menjawab problem Pendidikan bagi anak
jalanan. Pemerintah diharapkan mampu hadir dan menjadi pemberi solusi terhadap
dinamikan permasalahan tersebut. Harus ada yang menjadi pelita untuk
memancarkan cahaya ditengah gelapnya kehidupan anak-anak jalanan tersebut,
karena mereka semua adalah tanggungjawab negara.
Dalam mengatasi problematika pemenuhan hak Pendidikan bagi anak jalanan ini, penulis merekomendasikan beberapa solusi. Diantaranya pemerintah bisa mengadakan pendanaan Pendidikan yang lebih untuk memberikan akses kepada kaum jalanan bersekolah disekolah formal. Pemerintah harus lebih aktif melakukan door to door untuk mendatangi para kaum jalanan ini mengajak mereka sekolah dan membiayainya secara gratis hingga lulus. Sekolah saat ini hanya mengejar pamor dan melambungkan harga setinggi langit dan melupakan amanat konstitusi. Kemudian, pemerintah bisa membentuk komunitas untuk membantu komunitas lain dalam mengayomi anak-anak jalanan ini. Bentuk kontribusi lain yang dapat dilakukan adalah melalui program kampus mengajar. Dimana para mahasiswa ditempatkan tidak hanya mengabdi di sekolah formal tetapi, juga pada kondisi-kondisi lain seperti anak jalanan ini. Dalam tulisan ini penulis mendorong kepada pemerintah, pihak swasta, masyarakat umum serta seluruh pihak terkait untuk saling bekerjasama meunutaskan persoalan Pendidikan di Indonesia, baik secara nasional maupun daerah.
REFERENSI
Handoyo, A. 2019. Faktor-Faktor Penyebab Pendidikan Tidak Merata di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional “Menjadi Mahasiswa Yang Unggul Di Era Industri 4.0 Dan Society 5.0. 28 Desember 2019. pp.20-24.
Ilham, A.A.,
2020. Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Jalanan di Kota Bengkulu Berdasarkan Hukum
Positif Dan Hukum Islam. Skripsi. Fakultas Syariah Dan Hukum Institut
Agama Islam Negeri Iain Bengkulu.
Sherly, S.,
Dharma, E. and Sihombing, H.B., 2021, August. Merdeka belajar: kajian
literatur. In UrbanGreen Conference Proceeding Library. pp. 183-190.
Sugiarta, I. M.
dkk. 2019.Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurna
Filsafat Indonesia. 2(3):124-136.
#KampusMerdeka #KampusMengajar