14 Mei 2022

PELITA HARAPAN UNTUK MEREKA YANG TERLANTAR

 

PELITA HARAPAN UNTUK MEREKA YANG TERLANTAR

Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”

 -Nelson Mandela-

Peradaban suatu bangsa sejatinya tidak akan pernah lekang dari salah satu elemen yang amat fundamental yakni Pendidikan. Persoalan-persoalan yang dihadapi suatu bangsa baik di masa kini maupun masa depan akan mampu teratasi ketika bangsa itu sendiri memiliki Pendidikan yang berkualitas. Hal ini pun sejalan dengan ungkapan Nelson Mandela, bahwa Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Orang yang pada awalnya hanya mampu berjalan kaki untuk berpergian, kini dengan adanya Pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan memunculkan teknologi transportasi modern yang memudahkan orang berpergian keseluruh dunia dalam waktu yang singkat. Demikian pula beberapa persoalan seperti bidang pengolahan pangan, medis, telekomunikasi, bisnis, industri, hukum, dan persoalan lainnya yang secara nyata dapat diatasi berkat adanya Pendidikan.

Dilihat dari konteks Indonesia, perjalanan sejarah mengungkapkan bahwa keadaan terbelenggunya bangsa dalam pusaran tirani penjajahan, telah mendorong Ki Hajar Dewantara untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik) (Sugiarta, 2019). Bahkan semangat menuntut ilmu pengetahuan inilah yang mampu melahirkan para revolusioner bangsa untuk memerdekakan Indonesia.

Dalam perkembangannya saat ini, bangsa-bangsa didunia dituntut untuk mampu melakukan pembangunan yang berkelanjutan sebagimana yang termuat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia guna mengakhiri kemiskinan,mengurangi kesenjagan dan melindungi lingkungan. Salah satu poin yang menjadi tujuannya adalah menciptakan Pendidikan yang bermutu dengan memastikan Pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah secara jelas menyebutkan bahwa tujuan negara Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan dari rakyat berkewajiban untuk mendorong dan memastikan tercapainya tujuan tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan Pendidikan yang inklusif dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Pemerataan Pendidikan merupakan bentuk usaha untuk menjamin mutu Pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing guna menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang paripurna, unggul, berkarakter mulia dan kedepannya mampu membawa Indonesia pada titik keemasannya. Akan tetapi, hal yang diharapkan tidak semudah untuk melakukannya. Banyak tantangan dan hambatan yang masih ditemui dan belum menemukan solusi yang tepat.

Penyelenggaran Pendidikan di Indonesia masih dalam kondisi yang belum maksimal dan pemerataan Pendidikan juga belum sepenuhnya terselesaikan. Beradasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pada tahun 2021 lalu Indonesia masih berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia. Kondisi yang demikian diperparah dengan adanya berbagai praktik KKN oleh pejabat negara yang kemudian berimbas pada terhambatanya penyediaan saranan Pendidikan bagi anak-anak bangsa.

Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tengah memprogramkan merdeka belajar sebagai arah baru pembelajaran di masa depan. Merdeka     belajar     merupakan     program kebijakan    yang    dicanangkan   untuk mengembalikan    sistem    pendidikan    nasional kepada  esensi  undang-undang  dengan  memberi kebebasan kepada sekolah, guru dan murid untuk bebas  berinovasi,  bebas  untuk  belajar  dengan mandiri dan kreatif, dimana kebebasan berinovasi ini  harus  dimulai  dari  guru  sebagai  penggerak pendidikan nasional (Sherly, 2021).

Problematika yang kemudian dihadapi dan juga merupakan tantangan yang kompleks adalah pemerataan Pendidikan yang belum maksimal. Masih banyak anak-anak yang belum merasakan nikmatnya menempuh Pendidikan secara formal, baik disebabkan ketiadaan biaya, minimnya fasilitas, rendahnya kualitas dan kuantitas pengajar maupun masih sulitnya akses Pendidikan karena faktor daerah yang tertinggal dan terpencil.  Untuk daerah perkotaan saja masih banyak anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar dibangku sekolah. Diantara sekian banyak masalah yang ada, salah satunya adalah fenomena anak jalanan yang keberadaannya oleh sebagian masyarakat dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Padahal jika memiliki pilihan, maka mereka tidak akan memilih menjadi gelandangan dan mengemis ataupun bekerja di jalanan dalam kondisi usia yang masih belia.

Ditengah keadaan yang ada, data dari Kementerian Sosial menunjukan bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah anak-anak jalanan. Pada tahun 2017 jumlah anak jalanan masih berjumlah sekitar 36.000 orang dan saat ini jumlahnya mencapai 232.849 orang. Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), anak-anak yakni yang berusia 0-18 tahun berjumlah 79,8 juta anak. Dari keseluruhan tersebut, jumlah anak-anak yang masuk kategori terlantar dan hampir terlantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen. Sungguh amat disayangkan, berjuta-juta anak terlantar tersebut telah terenggut hak-haknya untuk bisa menikmati Pendidikan dan memperoleh perlindungan yang layak. 

Padahal, dalam Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak–hak asasi manusia pada umumnya, seperti tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Right of the Child konvensi tentang hak-hak anak (Amandemen IV, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999). Artinya, anak jalanan juga harus diberikan pendidikan guna pengembangan mental dan kecerdasan (Ilham, 2020).

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 sejatinya telah mempertimbangkan bahwa Pendidikan nasional harus menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan kedepan sesuai tuntutan perubahan zaman, baik secara lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu, harus dilakukan pembaharuan Pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan (Sherly, 2021).

Konsep kesetaraan atau pemerataan dalam pandangan Coleman (1968), memiliki arti dalam beberapa hal seperti, memberikan pendidikan gratis sampai tingkat tertentu yang merupakan titik masuk utama bagi angkatan kerja, menyediakan kurikulum umum untuk semua anak tanpa melihat dari latar belakangnya, menyediakan sekolah yang sama bagi anak-anak dengan latar belakang bidang yang berbeda-beda dan memberikan kesetaraan dalam kasih sayang (Handoyo, 2019). Konsep tersebut menjadi dasar program pemerataan atau kesetaraan dalam peningkatan kualitas Pendidikan.

Kita bisa melihat bahwa apa yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Dalam fenomena sehari-hari telah terjadi diskriminasi. Dimana kaum jalanan menjadi kelompok yang termarjinalkan dan dianggap sebelah mata. Padahal kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai bakat dan potensi itu ditujukan untuk semua elemen. Akhirnya muncul ketidakadilan dan kembali kita harus melihat kondisi-kondisi di masa jahiliyah yakni yang kuat semakin kuat dan yang lemah semakin lemah. Saat ini memang telah ada beberapa komunitas yang peduli terhadap kondisi anak jalanan ini dengan membantu memberikan Pendidikan informal lewat rumah singgah ataupun kemunitas belajar kecil-kecilan. Akan tetapi, hal itu masih belum cukup untuk menjawab problem Pendidikan bagi anak jalanan. Pemerintah diharapkan mampu hadir dan menjadi pemberi solusi terhadap dinamikan permasalahan tersebut. Harus ada yang menjadi pelita untuk memancarkan cahaya ditengah gelapnya kehidupan anak-anak jalanan tersebut, karena mereka semua adalah tanggungjawab negara.

Dalam mengatasi problematika pemenuhan hak Pendidikan bagi anak jalanan ini, penulis merekomendasikan beberapa solusi. Diantaranya pemerintah bisa mengadakan pendanaan Pendidikan yang lebih untuk memberikan akses kepada kaum jalanan bersekolah disekolah formal. Pemerintah harus lebih aktif melakukan door to door untuk mendatangi para kaum jalanan ini mengajak mereka sekolah dan membiayainya secara gratis hingga lulus. Sekolah saat ini hanya mengejar pamor dan melambungkan harga setinggi langit dan melupakan amanat konstitusi. Kemudian, pemerintah bisa membentuk komunitas untuk membantu komunitas lain dalam mengayomi anak-anak jalanan ini. Bentuk kontribusi lain yang dapat dilakukan adalah melalui program kampus mengajar. Dimana para mahasiswa ditempatkan tidak hanya mengabdi di sekolah formal tetapi, juga pada kondisi-kondisi lain seperti anak jalanan ini. Dalam tulisan ini penulis mendorong kepada pemerintah, pihak swasta, masyarakat umum serta seluruh pihak terkait untuk saling bekerjasama meunutaskan persoalan Pendidikan di Indonesia, baik secara nasional maupun daerah.


REFERENSI

Handoyo, A. 2019. Faktor-Faktor Penyebab Pendidikan Tidak Merata di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Menjadi Mahasiswa Yang Unggul Di Era Industri 4.0 Dan Society 5.0. 28 Desember 2019. pp.20-24.

Ilham, A.A., 2020. Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Jalanan di Kota Bengkulu Berdasarkan Hukum Positif Dan Hukum Islam. Skripsi. Fakultas Syariah Dan Hukum Institut Agama Islam Negeri Iain Bengkulu.

Sherly, S., Dharma, E. and Sihombing, H.B., 2021, August. Merdeka belajar: kajian literatur. In UrbanGreen Conference Proceeding Library. pp. 183-190.

Sugiarta, I. M. dkk. 2019.Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurna Filsafat Indonesia. 2(3):124-136.


#KampusMerdeka #KampusMengajar



DIMANAKAH KITA?

Industri Dirgantara: Kita Bisa Apa?

Hallo Sobat Pembangunan! Gimana Kabarnya? Semoga Baik-Baik Saja Yah😊  Kali ini ada info menarik buat Sobat Pembangunan sekalian. Yups, apal...